Selasa, 22 Maret 2011

Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee

Sering terdengar bahwa tasawuf dan politik adalah dua dunia yang berseberangan. Asumsi ini semakin diperkuat dengan banyaknya pengikut tasawuf / tarekat yang kadang lebih memilih hidup uzlah (mengasingkan diri) dari problem-problem sosial disekelilingnya.

Pada dasarnya, kenyataan ini tidak berangkat dari pemahaman tasawuf yang benar menurut Islam. Rasulullah saw sebagai panutan utama dalam beragama ternyata juga seorang seorang negarawan. Rasulullah tidak hanya mengurus agama, tapi juga mengatur Negara.

Tengku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee agaknya adalah seorang tokoh ulama yang mampu mensuri-tauladani sirah Rasul tersebut dengan baik. Selain dikenal sebagai ulama sufi perkembangan Tarekat al-Haddadiyah di Aceh, ia juga diakui berperan aktif dalam sejumlah peristiwa politik ulama ini di Aceh sepanjang hidupnya.

Tulisan singkat berikut ini akan mengulas karyanya dalam bidang tasawwuf sekaligus kiprah di dunia politik.

Biografi Singkat
Ulama  yang kerap dipanggil dengan sebutan Abu Krueng Kalee ini, lahir pada tanggal 13 Rajjab 1303 H, bertepatan dengan 18 April 1886 H. di desa Meunasah Letembu, Langgoe Kabupaten Pidie. Ketika itu ayahnya yang bernama Tgk. Muhammad Hanafiyah yang merupakan pimpinan dayah Krueng Kalee sedang dalam pengungsian di daerah tersebut akibat perang dengan Belanda yang berkecamuk di kawaasan Aceh Besar.

Setelah situasi perang relatif mereda, Muhammad Hasan kecil dibawa kembali oleh orang tuanya ke kampong halaman mereka di Krueng Kalee. Di sanalah perjalanan keilmuannya dimulai di bawah asuhan ayahanda Tgk. Muhammad Hanafiyah yang dikenal dengan panggilan Teungku Haji Muda. Selain itu ia juga belajar agama di Dayah Tgk. Chik di Keubok pada Tgk. Musannif yang menjadi guru pertama setelah ayahnya sendiri.

Ketika umurnya beranjak dewasa, ia melanjutkan pendidikan ke negeri Yan Keudah, Malaysia, yakni di Pesantren Tgk. Chik Muhammad Irsyad Ie Leubeu. Yang terakhir ini merupakan ulama Aceh yang turut mengungsi ke negeri Jiran akibat situasi perang.

Dari Yan, Tgk. M. Hasan bersama adik kandungnya yang bernama Tgk. Abdul Wahab berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan pendidikan di Mesjid al-Haram, namun tidak lama setiba mereka di sana, adiknya tersebut meninggal dunia karena sakit. Hal ini tidak membuat Tgk. Hasan patah semangat, ia tetap sabar dan teguh melanjutkan pendidikannya dari para ulama besar Mesjid al-Haram hingga lebih kurang 7 tahun.

Selain belajar ilmu agama, ia juga belajar ilmu falak dari seorang pensiunan jenderal kejaaan Turki Ustmani yang menetap di Mekkah. Hal mana kemudian membuatnya alim dalam ilmu Falak dan digelar dengan sebutan “Tgk. Muhammad Hasan Al-Asyie Al-Falaky.”

Sekembalinya dari Mekkah, Abu Krueng Kalee tidak langsung pulang ke Aceh tapi terlebih dahulu singgah di Pesantren gurunya Tgk. M. Irsyad Ie Leubeu di Yan Kedah. Di pesantren ini Abu Krueng Kalee sempat mengajar beberapa tahun dan kemudian dijodhkan oleh gurunya dengan seorang gadis yatim keturunan Aceh bernama Nyak Safiah binti Husein.

Atas panggilan pamannya Tgk. Muhamad Sa’id- Pimpinan Dayah Meunasah Baro- Tgk. M. Hasan pulang untuk mengabdi dan mengajar di Dayah tersebut. Tidak lama berselang, Abu Krueng Kalee membuka lembaga pendidikannya sendiri di Meunasah Blang yang hari ini terletak di Desa Siem bersebelahan dengan Desa Krueng Kalee, Kec. Darussalam, Aceh Besar.

Di tempat terakhir ini, Abu Krueng Kalee mulai menbgabdikan seluruh ilmunya dan berhasil mencetak kader ulama-ulama baru berpengaruh dan berpencar di seluruh Aceh semisal Tgk. H. Mahmud Blang Bladeh, Tgk. H. Abdul Rasyid Samlako Alue Ie Puteh, Tgk. H. Sulaiman Lhok Sukon, Tgk. H. Yusuf Kruet Lintang, Tgk. Haji Adnan Bakongan, Tgk. H. Sayid Sulaiman (mantan Imam Mesjid Raya Baiturrahman), Tgk. H. Idris Lamreng (ayahanda Alm. Prof. Dr. Safwan Idris, Matan Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh), dan lain-lainnya. Sebagian dari mereka kemudian membuka lembaga-lembaga pendiidkan agama/ dayah baru di daerah masing-masing.

Sutau hal yang patut disayangkan dari para ulama tradisional Aceh dahulu adalah minimnya karya tulis keilmuan. Padahal mereka sangat “kaya” dalam khazanah ilmu agama dan pengalaman rohani. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh sistem pembelajaran di kalanagan Dayah ketika itu yang sangat terfokus pada metode “Sima’i” dan “Talaqqiy” yaitu metode belajar dengan mendengar memahami dan menghafal. Metode yang sama juga digunakan ketika mengajarkan ilmu pengetahuan kepada generasi berikutnya. Sementara penyampaiannya kembali ilmu dalam bentuk narasi atau tulisan ilmiah meskipun dapat kita temukan, namun tidak sebanding dengan khazanah keilmuan yang mereka miliki.

Fenomena ini juga terjadi pada kisah hidup Tgk. H. Hasan Krueng Kalee. Kemahiran Abu Krueng Kalee dalam Ilmu Falak (Astronomi) sangat disayangkan tidak membuahkan sebuah karya ilmiah yang dapat dijadikan rujukan hari ini. Padahal ilmu yang dimilikinya tergolong ilmu yang langka di Aceh dan Nusantara ketika itu. Walaupun demikian semasa hidupnya Abu Krueng Kalee selalu menerbitkan hasil Hisab tentang awal bulan –bulan Arab, Khususnya Ramadhan, Syawal dan Haji yang sangat bermanfaat bagi masyarakat ketika itu.

Hal senada juga diutaerakan oleh putranya, Tgk. H. Syech Marhaban Hasan Krueng Kalee, ia sangat menyayangkan minimnya karya tulis dari ayahandanya tersebut. Padahal ide, pemikiran, fatwa-fatwa dan hasil penelitian Abu Krueng Kalee dalam Hisab dan Falak sangat banyak, dan tentu akan sangat berguna jika dibukukan ketika itu.

Peran Tgk. H. M. Hasan Krueng Kalee secara khusus sangat besar artinya bagi perekembanagn dan kemajuan pendidikan agama di Aceh pada masa berikutnya. Demikian pula kiprahnya dalam bidang politik telah memberi arti vital, dukungan dan semangat bagi kelangsungan Republik Indonesia yang ketika itu baru seumur jagung.

Rumah kediaman Tgk, H. Hasan Krueng Kalee yang terletak di Dusun Tenun Adat Gampong Siem Kecamatan Darussalam Aceh Besar. Photo rekaman cucunya Tgk. H. Waisul Qarani Aly, 29 Juni 2009.


Pada tanggal 19 Januari 1973, tepatnya malam Jum’at sekitar pukul 03.00 dini hari, Abu Krueng Kalee menghembuskan nafasnya yang terakhir. Meninggalkan tiga orang istri; Tgk. Hj. Nyak Safiah di Siem; Tgk. Nyak Aisyah di Krueng Kalee; dan Tgk. Hj. Nyak Awan di Lamseunong. Dari ketiga istri tersebut Abu Krueng Kalee Meninggalkan Tujuh belas orang putra dan putri. Salah seorangnya yaitu Tgk. H. Syech Marhaban sempat menjabat Mentri Muda Pertanian pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Karyanya dalam Bidang Tasawuf
Selain aliran dalam berbagai disiplin ilmu agama Islam, Abu Krueng Kalee juga terkenal dengan Tasawuf dan kesufiannya. Abu Krueng Kalee adalah orang  pertama yang memperkenalkan dan mengembangkan Tarekat Al-Hadadiyah di Seraambi Mekkah, sebagaimana dijelaskan dalam sanad Tarekat.

Dalam upaya menyebarkan tarekat tersebut, Tgk. H. Hasan Krueng Kalee menulis sebuah buku panduan dalam tarekat Al-Haddadiyah yang diberi nama: “Risalah Latifah fi Adab Adz-Zikr wa al-Tahlil wa Kaifiyatu Tilawah al-Samadhiyah ‘ala Tharekat Quthb al-Irsyad al Habib Abdullah al-Haddad.”

Kitab “Risalah” setebal 32 halaman tersebut ditulis dalam dua bahasa; Arab; dan Melayu Jawi. Kitab ini terbagi dalam empat bagian. Bagain pertama menerangkan adab berzikir dan bertahlil. Bagian kedua menerangkan cara membaca shamadiyah menurut tarekat al-Haddadiyah. Bagian ketiga tentang silsilah sanad tarekat. Dan bagian ke empat menerangkan adab dan metode membaca kitab dalail khairat sebagaimana yang diijazahkan oleh kedua gurunya, Syech Abdullah Ismail dan Syech Hasan Zamzami.

Pada bagian pertama buku ini, Abu Krueng Kalee menjelaskan bagaimana prosedur yang seharusnya dipelihara dalam berzikir. Dimulai dengan memelihara adab berzikir; berupa taubat dari segala dosa besar dan kecil; duduk bersila menghadap kiblat sambil mengapitkan ibu kaki kanan ke dalam lipatan paha kiri tepat pada urat besar di bawah lutut kiri yang bernama urat kaimas; meletakkan dua tangan di atas kedua paha seraya menundukkan kepala sekedarnya dan menetapkan seluruh anggota tubuhnya. Selanjutnya membaca istighfar tiga kali dan shalawat atas Nabi sepuluh kali dengan bacaan tertentu.

Selanjutnya mulai berzikir dengan ucapan khusus, seraya memejamkan mata agar terbuka mata hatinya. Dan dibayangkan wajah/rupa guru (orang yang memeberinya ijazah tarekat) di hadapannya. Karena dengan berkat/ ‘afwah gurunya-lah ia mendapatkan kebajikan zikir tersebut. Hal inilah yang disitilahkan dengan “Rabithah” di kalangan ahlus sufi.

Buku yang selesai ditulis tanggal 5 Dzulhijjah 1345 H ini, sangat menekankan pentingnya arti “Rabithah’ dalam bertarekat. Rabithah diartikan pertambatan hati antara guru dan muridnya. Menurut Abu Krueng Kalee, guru adalah ganti dari Rasulullah dalam hal memberi ijazah, Talqin dan Bai’at. Rabitah disini juga dimaknai dengan ikatan hati antara murid dengan gurunya lalu ikatan hati guru tersebut dengah gurunya yang lain hingga sampai kepada hati Rasululah Saw., selalu berharap kepada Allah ‘Azza wajalla dengan berzikir.

Tgk. H. Hasan Krueng Kalee dalam buku ini juga menjelaskan bagaimana metode berzikir menurut tarekat al-Haddadiyah. Terlebih dahulu mengingat dalam hati kalimat “Allah, Allah” hingga hilang segala hal keduniaan (aghyar) pada hatinya. Bila telah sampai kepada kondisi itu, barulah dimulai zikir dengan mengucapkan “ “. Dalam mengucapkan kalimat “Ia” nafas di ambil dari pusar lalu dinaikkan ke otaknya, pada saat itu kepala dicondongkan sedikit ke kanan sambil mengucapkan kalimat dan pada saat mengucapkan kalimat “ seolah-olah kalimat itu dihujjamkan dalam hati yang terletak pada lambung kiri kadar dua ibu jari bawah susu. Hentakan tersebut dilakukan dengan mesra dan dimaksudkan untuk memberi bekas kepada hati, sebab ia adalah tempat bernaungnya syaitan yang bernama “Khannas”. Metode dzikir semacam ini juga dijumpai dalam berbagai tarekat sufi lain dalam pengucapan kalimat tahlil “ “.

Pada kesudahan buku ini juga memperingatkan orang agar berzikir dengan tulus ikhlas semata-mata karena Allah, serta memelihara bacaan dzikir agar tidak terjadi kesalahan pengucapan yang berdampak kepada kufur. Dzikir tidak hanya dilakukan dalam keadaan duduk, tapi boleh dalam keadaan berjalan, maupun berbaring. Baik dengan lisan atau dengan hati.

Abu Krueng Kalee juga menjaelaskan sebaiknya seseorang terlebih dulu membaca samadhiah sepuluh ribu kali yang diniatkan bagi dirinya sendiri, lalu sepuluh ribu kali bagi orang tuanya, dan sepuluh ribu kali bagi syaikh/ gurunya. Akan tetapi yang paling afdhal untuk diri sendiri dibaca seratus ribu kali.

Menurut Abu Krueng Kalee, keistimewaan membaca shamadiah (surat Ikhlas) didasari atas hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim bahwa “ barangsiapa membaca surah Al-Ikhlas sepuluh ribu kali, niscaya Allah akan membebaskan dari apai neraka.” Dalam riwayat Bukhari dan Muslim yang lain Rasulullah Saw, bersabda; “ Barangsiapa membaca “ “ sepuluh ribu kali bagi mayit, niscaya Allah akan membebaskannnya dari api neraka.”

Tarekat Al-Haddadiyah memiliki ciri khas berupa kesederhanaan, khususnya dari segi bacaan dan praktek dzikir yang terfokus kepada kalimat Tauhid dan tahlil “ selain selawat dan doa-doa lainnya. Ini di dasari pada beberapa hadits Rasulullah yang menekankan pentingnya arti kalimat Tauhid tersebut.

Kiprahnya Dalam Dunia Politik

Satu hal yang menarik dikaji pada tokoh Abu Krueng Kalee adalah kiprahnya di dunia politik. Meski Abu Krueng Kalee seorang ulama salafi dan sufi terkemuka di Aceh yang dikenal sangat fanatik, namun hal tersebut tidak lantas membuatnya jauh dari dunia politik yang seolah dianggap tabu dan berseberangan dengan ajaran agama.

Bagi pemerhati sirah Rasulullah Saw yang mulia, hal seperti ini pada dasarnya tidaklah mengherankan. Sebab Rasul Saw yang notabene adalah waliyul Auliya wa Asyfiya pemimpin para wali dan sufi) juga merupakan pemimpin pemerintah Islam. Mengurus agama dan juga mengatur Negara. Keduanya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan saling melengkapi satu sama lain. Akhirat adalah tujuan, sementara dunia adalah jalan (wasilah) untuk menuju kesana.

Pemahaman yang benar terhadap sirah Rasul ini membuat Abu Krueng Kalee dapat mengkombinasikan kedua hal tadi dalam kehidupannya. Karena tasawuf dan tarikat tidak selalu identik dengan uzlah (pengasingan diri) dari kehidupan sosial. Pemahaman ini pula yang kemudian membuat kiprah Tgk. H. Hasan Krueng Kalee selalu hadir mengiuringi setiap peristiwa yang muncul di sekelilingnya.

Dalam upaya mengusir penjajahan kolonial Belanda mislanya, sikap Abu Krueng Kalee jelas terlihat dari usahanya membentuk laskar mujahidin yang terdiri dari para santri dan masyarakat guna mengusir penjajahan dari Bumi Serambi Mekkah. Hal ini terus berlanjut hingga perang Revolusi mempertahankan kemerdekaan.

Puncak dari dukungan Tgk. H. Hasan Krueng Kalee terhadap Republik Indonesia yang baru lahir ketika itu adalah diterbitkannya “Maklumat Ulama Seluruh Aceh” tanggal 15 oktober 1945. Maklumat ini berisikan tentang fatwa bahwa perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia adalah sama dengan perjuangan suci yang disebut perang sabil (Jihad fi sabilillah), dan merupakan sambungan dari perjuangan Aceh terdahulu seperti perjuangan Alm. Tgk. Chik Di Tiro, dan pahlawan-pahlawan kebangsaan lainnya. Maklumat penting ini diprakarsai dan ditandatangani oleh empat Ulama besar yaitu; Tgk. H. Hasan Krueng Kalee, Tgk. M. Daud Bereu’eh, Tgk. H. Djakfar Sidik Lamjabat, dan Tgk. Ahmad Hasballah Indarapuri, serta diketahui oleh Teuku Nyak Arief selaku Residen Aceh serta disetujui oleh Tuanku Mahmud selaku Ketua Komite Nasional.

Selain maklumat bersama, beliau juga mengeluarkan maklumat sendiri yang tidak jauh berbeda dengan maklumat itu. Maklumat tersebut kemudian dicetak oleh Markas Daerah PRI (Pemuda Republik Indonesia) dengan Surat Pengantar yang ditandatangani Ketua Umumnya Ali Hasjimi tertanggal 8 November 1945 dan dikirim kepada para tokoh dan ulama seluruh Aceh. Dampak dari seruan ini, berdirilah barisan Mujahidin di seluruh Aceh yang kemudian menjadi Mujahiddin Divisi Tgk Chik di Tiro.

Keluarnya Maklumat Ulama seluruh Aceh tadi sangat memberi dampak positif bagi pemeritah baru RI saat itu dan munculnya semangat dukungan fisik dan materil rakyat Aceh bagi membiayai perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Sehingga tidak mengherankan, dalam kunjungan pertama Presiden Soekarno ke Aceh Juni 1948, ia menegaskan bahwa Aceh segenap rakyatnya adalah modal pertama bagi kemerdekaan RI.”

Kiprah politik Abu Krueng Kalee juga terlihat dalam kasus perang Cumbok antara pasukan Uleeblang Aceh pimpinan Teuku Daud Cumbok dengan pasukan pejuang Aceh yang mendukung kemerdekaan RI. Pada  dasarnya tidak semua ulama setuju dengan perang ini. Abu Krueng Kalee salah seorang di antaranya. Abu Krueng Kalee lah yang di utus pihak pejuang Aceh di Kuta Raja untuk menemui Teungku Daud Cumbok agar mau berdamai. Namun ajakan itu ditolak. Atas sikapnya yang netral itu beliau diangkat oleh Komite Nasional Daerah Aceh menjadi salah seorang anggota tim penyelidikan asal-usul tragedi besar “perang saudara” yang telah merenggut sekitar 1500 nyawa rakyat Aceh dipenghujung tahun 1945 tersebut.

Ketika peristiwa DI/TII meletus di Aceh tahun 1953, seorang utusan Daud Beureueh datang menjumpainya untuk mengajak bergabung dalam barisan DI/TII. Namun beliau menolak dengan sebuah ungkapan yang masyhur; “Ta Peu’ek Geulayang Watei na Angen.” (terbangkanlah layang-layang ketika angin kencang). Ungkapan ini bermakna bahwa keputusan Abu Beureu’eh dan kawan-kawan ketika itu tidak di dukung oleh situasi dan kondisi yang tepat, tidak akan membuahkan hasil dan justru akan menyengsarakan rakyat.

Menjelang tahun lima puluhan, bersama beberapa tokoh lain Abu Krueng Kalee memprakarsai lahirnya Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) di Aceh sekaligus memimpin organisasi tersebut aktif hingga tahun 1968.

Kiprah politik beliau terus berlanjut hingga pernah diangkat menjadi Dewan Konstituante pasca pemilu 1955 mewakili PERTI. Hingga akhir hayatnya beliau terus memberikan ilmu-ilmunya kepada masyarakat melaui konsultasi dan pengajian-pengajian.

Penutup
Tgk. H. Hasan Krueng Kalee memang telah tiada, namun dengungan suara tahlil dan shamadiyah menurut tarekat Al-Haddadiyah masih menggema dan terus terdengar di berbagai desa dan kota di Serambi Mekkah. Seiring dengan itu fatwa syahid yang beliau keluarkan masih terus relevan dan memberi motivasi sendiri bagi masyarakat Aceh dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan. Wallahu’alam

Bahan ini merupakan ringkasan dari buku Ensikoledi Pemikiran ulama Aceh, karena sulitnya mencari biografi beliau.

Oleh : Syah Reza Al Ayyubi
Sumber: http://ilmuushuluddin.blogspot.com/  [sepertinya blog ini telah ditutup pembuatnya]

Kami mohon maaf kepada penulis, mengingat banyak sekali kesalahan penulisan dan ejaan, maka tulisan yang kami posting ini telah kami telaah kembali dan memperbaiki berbagai kesalahan pengetikan demi kesempurnaan tentunya.

KEPADA SIAPA SAJA YANG INGIN MEMILIKI BUKU BIOGRAFI LENGKAP TGK. H. HASAN KRUENG KALEE DAPAT MENGHUBUNGI USTAZ MUHAMMAD FAISAL, M.AG  DI DAYAH DARUL IHSAN TGK. H. HASAN KRUNG KALEE GAMPONG SIEM KECAMATAN DARUSSALAM KAB. ACEH BESAR

2 komentar:

admin mengatakan...

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa dan peran Ulama dan pahlawannya, sebaliknya suatu bangsa akan menjadi kerdil jika tidak memberi penghargaan atas jasa dan peran Ulama dan pahlawannya.

teaRs mengatakan...

boleh minta nmr Ust. Muhammad Faisal yg bs dihubungi???

Posting Komentar

 
Redesign by : Sbafcom Corporatian