Senin, 02 Mei 2011

Tgk Haji Hasan Krueng Kalee Mencapai Tingkat Ma’rifatullah

            Landasan utama kesempurnaan setiap individu ataupun suatu komunitas terletak pada kualitas ma'rifat (pengetahuan) dan pola fikir mereka.
Kesempurnaan tersebut tidak mungkin terealisasi secara utuh tanpa didukung kualitas pengetahuan yang tinggi. Dalam pandangan Islam, kualitas sebuah perbuatan bisa diukur dari tingkat ma'rifat si pelakunya. Jika pelaku tidak melandasi perbuatannya dengan ma'rifat, perbuatannya itu tidak bernilai sama sekali. Dengan kata lain, tingkat kualitas suatu tindakan ditentukan sesuai dengan derajat ma'rifat pelakunya. Semakin tinggi derajat ma'rifat seseorang, semakin tinggi pula kualitas perbuatannya, meskipun perbuatan itu secara lahiriah nampak remeh.
            Lawan ma'rifat adalah taqlid. Kata ini berarti mengikuti ucapan seseorang tanpa landasan argumen. Maka, taqlid tidak dikategorikan sebagai ilmu. Ia sama sekali tidak akan meniscayakan keyakinan. Tentu saja, manusia tidak mungkin ber-ma'rifat dan mengenal Zat Allah SWT haqqu ma'rifatih (secara utuh dan sempurna), sebagaimana yang dibuktikan oleh akal. Karena, bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas (makhluk) dapat mengetahui dan menjangkau zat yang tidak terbatas (al-Khaliq) dari berbagai sisi-Nya. Oleh sebab itu, rasul sebagai makhluk yang paling sempurna pernah bersabda dalam penggalan munajatnya, "Wahai Tu-hanku, diriku takkan pernah mengetahui-Mu sebagaimana mestinya."
Setiap ilmu dan ma'rifat, khususnya ma'rifatullah, yang dimiliki oleh setiap individu ataupun suatu komunitas sangat berpengaruh pada perilaku moral dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kita bisa bandingkan mereka yang
meyakini pandangan dunia Ilahi dengan mereka yang menganut pandangan dunia materialis. Kelompok kedua ini menganggap bahwa kehidupan manusia tidak memiliki kepastian dan kejelasan tujuan yang harus ditempuh, anggapan yang
bermuara dari keyakinan bahwa kebermulaan alam ini dari shudfah (kebetulan), sehingga mereka melihat bahwa kematian merupakan titik akhir dari kehidupan dan manusia menjadi tiada hanya dengan kematian. Kematian itu akan menghadang setiap orang tanpa pandang bulu, zalim maupun adil, berbudi luhur maupun tercela.
            Pada tahun 2007, senin 7 Mai, bertepatan dengan 19 Rabiul Akhir 1438 H. Sebuah forum tingkat tinggi ulama Aceh menggelar pertemuan kedua di Mesjid Raya Baiturrahman; pada pertemuan yang menghadirkan ratusan ulama Aceh ini menyimpulkan bahwa ada empat ulama Aceh yang telah sampai pada tingkat ma’rifatullah[1]. Keempat ulama itu, masing-masing Syaikh Abdurrauf As-Singkili, Hamzah Fansuri, Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee dan Tgk Syaikh H.Muhammad Waly Al-Khalidy atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tgk H Muda Waly.
            Hadir dalam pertemuan tersebut diantaranya adalah: Tgk Jamaluddin Waly, Tgk Natsir Waly, Abu Panton(Abu Ibrahim Panton), Kadis Syari’at Islam Prof Al Yasa’ Abu Bakar dan seratusan ulama Aceh lainnya. Pada pertemuan ini, Prof Syahrizal Abbas dari IAIN Ar-Raniry Banda Aceh bertindak sebagai pemandu acara.
            Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee adalah seorang ulama besar Ahlusunnah wal jama’ah yang menganut Thariqat Haddadiyah, yakni thariqat yang berpangkal kepada Said Abdullah Ala Hadad. Meski demikian beliau bukanlah seorang ulama yang tradisional (kolot). Beliau pernah ikut dalam musyawarah pendidikan Islam pada oktober 1932 di Lubuk, Aceh Besar. Dalam pertemuan ini membahas pembaharuan pendidikan Islam.
            Beliau merupakan alumni Dayah Yan, Keudah Malaysia yang waktu itu dipimpin oleh seorang ulama besar yang berasal dari kerajaan Aceh Darussalam. Salah seorang murid Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee adalah; Tgk Muhammad Daud Beureueh. Bahkan menurut beberapa sumber yang tim penulis wawancarai, Tgk Syaikh H.Muhammad Waly Al-Khalidy juga sempat menimba ilmu sama beliau meskipun tidak dalam jangka waktu yang lama.
            Selain beliau, tokoh ulama Aceh lainnya yang mencapai tingkat ma’rifatullah adalah Syaikh Abdurrauf As-Singkili yang masyhur dengan panggilan Syiah Kuala. Beliau adalah seorang ulama besar yang menguasai ilmu-ilmu agama dan pimpinan pusat pendidikan Baiturrahman pada zaman Sultan Iskandar Muda dan berlanjut hingga masa Sultanah Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam selaku mufti kerajaan Aceh. Syiah Kuala merupakan mursyid thariqat Syattariah, beliau mendapat ijazah dari Syaikh Ahmad Khusyasyi ( 1585-1661 M ) di Madinah dan kembali ke Aceh sekita tahun 1083 H atau 1662 M.
            Sedangkan Hamzah Fansuri merupakan sufi terkemuka dari Aceh. Apabila Syaikh Abdurrauf merupakan pendekar besar dalam syaria’at di Nusantara Islam. Maka Hamzah Fansuri merupakan pendekar besar dalam bidang tasawuf Islam di Aceh. Konon menurut cerita, saudara Hamzah Fansuri bernama Ali Fansuri adalah Ayah dari Abdurrauf As-Singkili Al-Fansuri.
            Sementara ulama besar Aceh lainnya yang juga mencapai tingkat ma’rifatullah adalah Tgk H.Muhammad Waly Al-Khalidy, beliau lahir pada 1917 di Desa Blang Poroh, Labuhan Haji, Aceh Selatan. Sejarah beliau pernah ditulis oleh Prof Ali Hasyimi dan juga oleh anak beliau sendiri Prof Muhibbuddin Waly yang diterbitkan di Singapura.



[1] Berita Serambi Indonesia, Senin, 7 Mai 2007.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Redesign by : Sbafcom Corporatian