Jumat, 04 Oktober 2013

Penyusupan Budaya Asing di PKA Ke-VI

Jika berpijak kepada tema Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Ke - Enam tahun 2013 yaitu “ Aceh satu dalam sejarah dan Aceh satu dalam Budaya" tentu akan tergambar bahwa setiap pertunjukan yang ditampilkan ke publik baik kepada generasi muda Aceh sendiri maupun ke tingkat nasional dan internasional merupakan idenditas Aceh dalam keragaman seni budaya, kekayaan khazanah seni budaya yang tersimpul dalam sebuah kesimpulan apapun yang ditampilkan di PKA “ semua berasal dari nanggroe rencong”. 

Namun Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke Enam setelah dibuka dengan gegap gempita oleh bapak presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 21 September lalu. Ternyata banyak disusupi oleh budaya non- Aceh yang tidak islami. Sebagaimana pengamatan penulis dan mungkin juga semua orang yang berkunjung ke PKA menyaksikan hal ini.

Pertama, banyak sekali anjungan dari berbagai Kabupaten/kota membuat panggung khusus untuk pertunjukan tarian dan penampilan seni lainnya. Namun banyak sekali anjungan yang mengisi rangkain acara panggung hiburan tersebut dengan “ acara dangdutan ” bahkan disempurnakan dengan budaya “ Saweran ” yang bersal dari negeri antah berantah itu.

Kedua, disela-sela penampilan Tari Saman penulis meilhat pembawa acara mengisi waktu kosong sembari menunggu peserta selanjutnya dari Lhokseumawe belum siap tampil, sang pembawa acara berbicara dalam loghat bahasa Melayu khas dialog Upin & Ipin sampai lima belas menit. 

Ketiga, ternyata penyusup budaya luar tidak berhenti di panggung utama saja bahkan ada badut/boneka Upin-Upin yang menemani anak-anak genarasi polos bangsa Aceh yang belum tahu menahu tentang idenditas nama dan ragam budaya sendiri. Hal ini sangat merugikan rakyat Aceh dengan dana Milyaran rupiah kita habiskan malah kita salah kaprah mempromosikan hasil cipta karya budaya negeri orang dengan Pree tek tok. saya yakin pasti masih ada lagi sejumlah penyusupan budaya asing lain yang tidak sempat saya lihat namun ada di arena PKA kali ini. 

Penyesatan Sejarah dan Budaya

Adat, budaya dan seni Aceh mesti bernuansa islami bahkan dalam Narit Madja sering kita dengar “ hukom ngon adat lagèe zat ngon sifeut” artinya produk budaya dan adat istidat Aceh penuh dengan nilai-nilai filosofi yang islami. Hemat kata, budaya Aceh bukan budaya bebas nilai. Aceh adalah negeri yang bermartabat dan memiliki marwah bukan bangsa murahan. 

Hal ini sangat disesalkan. Kami selaku pendidik sangat merasa dirugikan bahkan sampai kepada taraf memalukan. Kisah miris itu terjadi ketika menjawab sejumlah pertayaan dari tingkah polah serba-serbi perhelatan PKA kepada anak didik kami sebanyak 550 (lima ratus lima puluh) orang lebih.

Untuk menyahuti slogan “ Jak Tajak Saweu PKA ngat ta teupeu keu neubah Radja ” kami liburkan kegiatan belajar mengingat berkunjung ke PKA juga bagian dari education. Santriwan dan santriwati yang kami bawa teridiri dari tingkat Tsanawiyah dan Aliyah. Kami bagi dalam dua gelombang untuk putra dan putri. 

Tujuan kami untuk memperkenalkan warisan nenek moyang kepada mereka sebanyak-banyaknya tentang sejarah warisan budaya yang sebenarnya. Hal ini sirna disebabkan campuran budaya Aceh yang ditampilkan yang tidak orisinil lagi. Belum lagi suara hentakan musik yang memekik telinga yang sangat menganggu kenyamanan pengunjung.

Harapan dan masukan untuk Panitia kenapa semua ini bisa terjadi, tentu titik pundak kesalahan dialamatkan kepada panitia. Panitai lost control bahkan terkesan membiarkan tontonan yang sangat mengelitik naluri keimanan setiap pegunjung yang masih memiliki kepekaan terhadap agama dan nasib generasi masa depan.

Jika saya tidak dianggap lancang. Saya menyimpulkan PKA Ke- Enam tidak sesuai dengan “ Neuduk di bumoe yang meu syariat” Seyogyanya bagi anjungan Kabupaten/Kota yang menyugukan penampilan yang non –Aceh akan ditegur dan diberikan sanksi . Atau idealnya kriteria dan bentuk penampilan semua mata acara harus dipetakan dan dinarasikan untuk meminimalisir sisipan hal-hal tabu. Tidak sekedar pemberitahuan daftar kegiatan karena bisa saja terjadi bias untuk disusupi konten yang tidak diinginkan sehingga akan mencoreng nama baik Aceh di mata masyarakat nasional dan internasional yang mengunjungi PKA. 

Penulis adalah: Mustafa Husen Woyla Guru MAS/MTsS Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Kreung Kalee, Darussalam, Aceh Besar.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Redesign by : Sbafcom Corporatian